
Siapa yang tidak pernah melihat postingan teman atau influencer yang memamerkan liburan mewah, gadget terbaru, atau barang-barang branded di linimasa media sosial mereka? Fenomena ini, yang dikenal dengan istilah ‘flexing’, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap digital modern. Dari sekadar berbagi momen, media sosial kini seringkali menjadi panggung untuk memamerkan kekayaan dan status. Namun, apa sebenarnya ‘flexing’ itu, bagaimana sejarahnya di era digital, mengapa kita terobsesi dengannya, dan yang terpenting, apa dampaknya terhadap kesehatan finansial kita? Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena tersebut.
Â
Apa Itu ‘Flexing’? Definisi dan Evolusi Konsep
Istilah ‘flexing’ secara harfiah berarti “melenturkan” atau “meregangkan”. Dalam konteks sosial, terutama di media sosial, ‘flexing’ merujuk pada tindakan sengaja memamerkan kekayaan, kesuksesan, status sosial, atau gaya hidup mewah kepada orang lain. Tujuannya seringkali untuk menarik perhatian, mendapatkan validasi, atau menciptakan citra diri tertentu. Konsep ini bukanlah hal baru; manusia telah memamerkan status mereka sepanjang sejarah melalui pakaian, perhiasan, rumah besar, atau koleksi seni. Namun, media sosial telah memberikan platform yang belum pernah ada sebelumnya, memungkinkan individu untuk ‘flex’ kepada audiens global secara instan.
Akar istilah ‘flexing’ modern sering dikaitkan dengan budaya hip-hop, di mana artis-artis sering menyanyikan tentang kekayaan, mobil mewah, perhiasan mahal, dan gaya hidup glamor sebagai simbol kesuksesan mereka. Seiring waktu, istilah ini merambah ke budaya populer yang lebih luas, dan kini menjadi kosakata umum di era digital.
Â
Sejarah Singkat ‘Pamer’ di Era Digital
Sebelum era media sosial, pamer mungkin terbatas pada lingkungan fisik atau lingkaran sosial terdekat. Namun, kemunculan platform seperti MySpace, Facebook, dan Twitter mengubah cara kita berinteraksi dan berbagi informasi. Awalnya, fokusnya adalah koneksi sosial dan berbagi pengalaman. Namun, dengan hadirnya platform yang sangat visual seperti Instagram pada tahun 2010, ‘flexing’ menemukan rumah yang sempurna.
Instagram, dengan penekanannya pada foto dan video berkualitas tinggi, menjadi tempat ideal untuk memamerkan gaya hidup yang dikurasi. Filter, fitur Stories, dan kemampuan untuk “mengikuti” kehidupan orang lain (terutama selebriti dan influencer) memperkuat budaya pamer. Kemudian, TikTok dengan format video pendeknya, semakin mempercepat tren ini melalui tantangan, lip-syncing, dan video transformatif yang seringkali menampilkan barang-barang atau pengalaman mewah. Dari foto liburan eksotis hingga unboxing barang-barang mewah, media sosial menjadi etalase raksasa bagi kehidupan yang seringkali disaring dan tidak selalu realistis.
Â
Psikologi di Balik Obsesi ‘Flexing’
Mengapa banyak dari kita begitu terobsesi untuk ‘flexing’ atau terpengaruh olehnya? Ada beberapa faktor psikologis yang mendasarinya:
- Kebutuhan untuk Validasi dan Pengakuan: Manusia secara alami menginginkan penerimaan dan pengakuan. Jumlah like, komentar, dan follower di media sosial berfungsi sebagai mata uang sosial yang memberikan validasi instan, memicu pelepasan dopamin di otak kita.
- Membangun Citra Diri Ideal: Media sosial memungkinkan kita untuk mengkurasi dan menyajikan versi terbaik dari diri kita. ‘Flexing’ adalah cara untuk membentuk citra diri yang sukses, kaya, atau bahagia, meskipun itu mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan realitas.
- Kecemburuan Sosial dan FOMO (Fear of Missing Out): Melihat orang lain memamerkan kehidupan mewah bisa memicu rasa iri dan ketakutan akan ketinggalan (FOMO). Hal ini dapat mendorong seseorang untuk ikut ‘flexing’ agar tidak merasa tertinggal atau kurang berharga.
- Teori Perbandingan Sosial: Menurut teori perbandingan sosial Festinger, kita menilai diri kita sendiri berdasarkan perbandingan dengan orang lain. ‘Flexing’ adalah upaya untuk menempatkan diri di posisi atas dalam hierarki sosial digital.
- Status Sosial: Sejak zaman purba, manusia telah menggunakan kekayaan dan barang mewah sebagai penanda status. Media sosial hanya memodernisasi cara kita menunjukkannya.
Â
Dampak ‘Flexing’ Terhadap Keuangan Individu
Meskipun ‘flexing’ mungkin memberikan kepuasan sesaat secara psikologis, dampaknya terhadap keuangan bisa sangat merugikan:
- Pengeluaran Konsumtif Berlebihan: Dorongan untuk ‘flexing’ seringkali menyebabkan pembelian barang-barang yang tidak dibutuhkan atau di luar kemampuan finansial. Seseorang mungkin membeli pakaian mahal, liburan mewah, atau gadget terbaru hanya untuk difoto dan diunggah.
- Utang Konsumtif: Banyak individu terjerat utang konsumtif (misalnya kartu kredit atau pinjaman pribadi) demi membiayai gaya hidup mewah yang mereka tampilkan di media sosial. Ini adalah utang yang tidak produktif dan bisa menjadi beban jangka panjang.
- Gaya Hidup di Atas Kemampuan: ‘Flexing’ mendorong seseorang untuk hidup di luar batas kemampuannya. Upaya “menjaga citra” di media sosial bisa menguras tabungan, mengabaikan investasi, atau menunda pembayaran penting.
- Stres Finansial dan Kecemasan: Tekanan untuk selalu tampil sempurna dan mewah di media sosial dapat menyebabkan stres finansial yang signifikan. Kecemasan tentang bagaimana mempertahankan fasad ini bisa mengganggu kesehatan mental.
- Prioritas Keuangan yang Salah: Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, investasi masa depan, dana darurat, atau pensiun justru dialihkan untuk memenuhi kebutuhan ‘flexing’ yang bersifat sementara dan tidak esensial.
Â
Bagaimana Mengelola Obsesi ‘Flexing’ dan Menjaga Kesehatan Finansial
Mengatasi dorongan untuk ‘flexing’ dan dampaknya terhadap keuangan memerlukan kesadaran dan disiplin:
- Kesadaran Diri: Kenali pemicu Anda. Apakah Anda ‘flexing’ karena ingin validasi, atau karena melihat orang lain melakukannya? Pahami motivasi di balik tindakan Anda.
- Fokus pada Keuangan Pribadi: Buat anggaran yang realistis, sisihkan dana darurat, dan mulai berinvestasi. Prioritaskan tujuan keuangan jangka panjang Anda di atas kepuasan sesaat.
- Kurangi Paparan Pamer: Jangan ragu untuk berhenti mengikuti (unfollow) atau membisukan (mute) akun-akun yang secara konsisten memicu Anda untuk ‘flexing’ atau membuat Anda merasa tidak cukup.
- Prioritaskan Nilai Diri di Atas Materialisme: Ingatlah bahwa kebahagiaan sejati dan rasa puas diri berasal dari pencapaian pribadi, hubungan yang bermakna, dan kontribusi, bukan dari barang-barang materi yang dipamerkan.
- Lakukan Detoks Digital: Sesekali, jauhkan diri dari media sosial. Gunakan waktu tersebut untuk merefleksikan diri, mengembangkan hobi, atau menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang terdekat.
Â
Kesimpulan
‘Flexing’ di media sosial adalah fenomena kompleks yang berakar pada psikologi manusia dan diperkuat oleh platform digital. Meskipun mungkin memberikan kepuasan instan dan pengakuan sosial, obsesi untuk memamerkan gaya hidup mewah dapat memiliki konsekuensi finansial yang serius, menjerat individu dalam lingkaran utang dan stres. Penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial, memprioritaskan kesehatan finansial jangka panjang, dan memahami bahwa nilai diri tidak diukur dari seberapa banyak yang kita pamerkan, melainkan dari integritas dan kesejahteraan pribadi yang sesungguhnya.