Politeknik Penerbangan Palembang

Kenapa Orang-orang Suka Flexing Barang Mahal di Internet

 

Di era digital yang serba terhubung ini, istilah “flexing” telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap media sosial. Dari unggahan foto liburan mewah, gadget terbaru, pakaian bermerek, hingga pencapaian profesional yang bombastis, flexing seolah menjadi ritual wajib bagi sebagian orang untuk menunjukkan eksistensi dan status mereka. Namun, di balik kilauan citra yang diproyeksikan, apa sebenarnya motif utama di balik fenomena ini? Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa flexing di internet lebih dari sekadar pamer semata, melainkan sebuah bentuk kompleks dari kebutuhan mendalam akan validasi diri di tengah hingar-bingar dunia maya.

 

Apa Itu Fenomena “Flexing” di Internet?

“Flexing” berasal dari bahasa Inggris yang berarti memamerkan atau menunjukkan sesuatu dengan bangga. Dalam konteks internet, flexing adalah tindakan sengaja mempublikasikan atau menonjolkan kekayaan, status, gaya hidup mewah, pencapaian luar biasa, penampilan fisik yang menarik, atau hal-hal lain yang dianggap bernilai dan dapat menarik perhatian atau kekaguman publik. Platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan bahkan Facebook, menjadi panggung utama bagi para “flexer” untuk menampilkan sisi terbaik (dan seringkali yang paling fantastis) dari kehidupan mereka. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan respons positif, baik berupa “likes,” komentar pujian, “followers,” atau bahkan pengakuan dari komunitas yang lebih luas.

 

Akar Psikologis di Balik Flexing: Kebutuhan Akan Validasi

Mengapa banyak orang merasa terdorong untuk melakukan flexing? Jawabannya terletak pada salah satu kebutuhan dasar manusia: kebutuhan akan validasi atau pengakuan. Psikolog Abraham Maslow menempatkan kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan sebagai salah satu hierarki kebutuhan penting setelah kebutuhan dasar dan rasa aman terpenuhi. Di era digital, kebutuhan ini bermetamorfosis menjadi dorongan untuk mencari validasi di dunia maya.

  • Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory): Manusia secara alami membandingkan diri dengan orang lain. Media sosial, dengan segala konten yang disaring dan seringkali tidak realistis, menyediakan ladang subur untuk perbandingan sosial. Melihat orang lain “flexing” bisa memicu keinginan untuk menunjukkan bahwa diri sendiri juga tidak kalah, atau bahkan lebih baik.
  • Meningkatkan Harga Diri: Bagi sebagian orang, validasi dari orang lain—terutama dalam bentuk pujian dan kekaguman—dapat memberikan dorongan instan pada harga diri. Ketika seseorang merasa kurang percaya diri atau memiliki keraguan akan nilainya, flexing bisa menjadi cara untuk mendapatkan afirmasi eksternal yang diharapkan dapat mengisi kekosongan tersebut.
  • Kebutuhan Akan Afiliasi dan Penerimaan Sosial: Di balik setiap postingan yang dipamerkan, ada harapan untuk diterima dan diakui oleh kelompok sosial tertentu. Flexing bisa menjadi tiket masuk ke komunitas yang diinginkan atau cara untuk menegaskan posisi seseorang dalam hierarki sosial online.
  • Faktor Algoritma dan Ganjaran Instan: Algoritma media sosial dirancang untuk mempromosikan konten yang menarik interaksi. Semakin banyak “likes” dan komentar yang didapat dari flexing, semakin besar “reward” dopamine yang dirasakan, menciptakan lingkaran umpan balik yang menguatkan perilaku tersebut.

 

Dampak Flexing: Dua Sisi Mata Uang Digital

Fenomena flexing di internet bukanlah hal yang hitam putih. Ia membawa serta berbagai dampak, baik yang dapat dianggap positif maupun negatif.

Sisi Positif yang Jarang Disadari (atau Diperdebatkan)

  • Inspirasi dan Motivasi: Dalam beberapa kasus, melihat pencapaian atau gaya hidup orang lain dapat memicu inspirasi dan motivasi bagi penonton untuk bekerja lebih keras atau mencapai tujuan mereka sendiri.
  • Personal Branding: Bagi profesional atau pebisnis, flexing bisa menjadi strategi untuk membangun citra atau merek pribadi yang kuat, menunjukkan kesuksesan, dan menarik peluang baru.
  • Perayaan Pencapaian: Terkadang, flexing adalah cara yang tulus untuk merayakan dan berbagi kegembiraan atas pencapaian yang diperoleh setelah kerja keras.

Sisi Negatif yang Mengintai

  • Kesenjangan Sosial dan Kecemburuan: Flexing secara konsisten dapat menciptakan perasaan iri hati, frustrasi, dan rendah diri di kalangan penonton yang merasa hidup mereka tidak sebanding.
  • Tekanan Mental pada Pelaku: Kebutuhan untuk terus-menerus memamerkan kesempurnaan dapat menciptakan tekanan mental yang besar, memicu kecemasan, dan bahkan depresi jika validasi yang diharapkan tidak terpenuhi.
  • Citra Palsu dan Ketidakjujuran: Banyak kasus flexing melibatkan pemalsuan atau pembesar-besaran fakta untuk menciptakan ilusi kemewahan atau kesuksesan, yang dapat merusak kredibilitas dan memicu masalah etika.
  • Perilaku Konsumtif yang Tidak Sehat: Dorongan untuk flexing dapat memicu perilaku konsumtif berlebihan, di mana seseorang membeli barang atau pengalaman bukan karena kebutuhan, tetapi semata-mata untuk dipertunjukkan.
  • Risiko Keamanan: Memamerkan aset berharga atau lokasi liburan secara detail dapat meningkatkan risiko menjadi target kejahatan seperti pencurian.

 

Mencari Validasi Diri yang Sehat di Dunia Maya

Meskipun kebutuhan akan validasi adalah hal yang manusiawi, penting untuk mencari validasi dari sumber yang sehat dan berkelanjutan, terutama di tengah banjir informasi dan perbandingan di media sosial. Berikut beberapa cara untuk melakukannya:

  • Fokus pada Pertumbuhan Internal: Alihkan fokus dari validasi eksternal ke pengembangan diri, keterampilan, dan pencapaian pribadi yang memberikan kepuasan batin.
  • Bangun Hubungan yang Autentik: Prioritaskan hubungan dengan orang-orang terdekat yang menghargai Anda apa adanya, bukan karena apa yang Anda miliki atau tunjukkan di internet.
  • Sadari Manipulasi Media Sosial: Pahami bahwa apa yang ditampilkan di media sosial seringkali adalah “highlights reel” yang telah disaring dan tidak merepresentasikan realitas sepenuhnya.
  • Batas Penggunaan Media Sosial: Kurangi waktu yang dihabiskan untuk menggulir linimasa dan bandingkan diri dengan orang lain. Fokus pada aktivitas offline yang membangun.
  • Definisikan Kesuksesan Anda Sendiri: Jangan biarkan standar kesuksesan orang lain (yang seringkali diproyeksikan melalui flexing) mendikte definisi kesuksesan Anda sendiri.

 

Kesimpulan

Flexing di internet adalah fenomena kompleks yang berakar pada kebutuhan mendalam akan validasi dan pengakuan. Meskipun dapat memberikan dorongan sesaat, ketergantungan pada validasi eksternal ini seringkali membawa dampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan. Di era digital ini, sangat penting bagi kita untuk mengembangkan harga diri yang kuat dari dalam, menjalin hubungan yang autentik, dan menggunakan media sosial dengan bijak sebagai alat koneksi, bukan panggung utama untuk pencarian validasi tanpa henti. Memahami akar dari perilaku flexing adalah langkah pertama untuk membangun hubungan yang lebih sehat dengan diri sendiri dan dunia digital.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
x  Powerful Protection for WordPress, from Shield Security
This Site Is Protected By
Shield Security