Politeknik Penerbangan Palembang

Mengapa Konten ‘Flexing’ Selalu Viral? Menguak Peran Algoritma di Baliknya

Di era digital ini, media sosial telah menjadi panggung raksasa di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan sisi terbaik (atau paling gemerlap) dari kehidupan mereka. Fenomena ‘flexing’, atau pamer kekayaan, gaya hidup mewah, atau pencapaian, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap media sosial. Dari liburan eksotis hingga barang-barang branded, konten-konten semacam ini seringkali berhasil meraih atensi massal, memicu jutaan reaksi, komentar, dan bagikan. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa konten ‘flexing’ ini memiliki daya tarik yang begitu kuat hingga selalu menjadi viral? Jawabannya terletak pada perpaduan kompleks antara psikologi manusia dan cara kerja algoritma media sosial.

 

Apa Itu ‘Flexing’ dan Daya Tariknya?

‘Flexing’ adalah istilah slang yang merujuk pada tindakan memamerkan kekayaan, kesuksesan, atau gaya hidup mewah, biasanya di media sosial. Ini bisa berupa foto mobil sport terbaru, video liburan di resor mewah, unggahan tentang pencapaian karier yang fantastis, atau koleksi barang-barang desainer. Inti dari flexing adalah untuk menunjukkan status, mendapatkan pengakuan, dan mungkin memicu rasa iri atau kekaguman dari audiens.

Daya tarik konten flexing berakar pada beberapa aspek psikologi manusia:

  • Aspirasi dan Keinginan: Manusia secara alami tertarik pada hal-hal yang mereka impikan atau inginkan. Melihat orang lain memiliki apa yang kita idamkan bisa memicu aspirasi atau bahkan motivasi (meskipun seringkali juga kecemburuan).
  • Perbandingan Sosial: Media sosial seringkali menjadi arena perbandingan sosial. Kita cenderung membandingkan diri kita dengan orang lain, dan konten flexing memberikan standar (seringkali tidak realistis) untuk perbandingan tersebut.
  • Validasi dan Status: Bagi pembuat konten, flexing adalah cara untuk mendapatkan validasi dan meningkatkan status sosial mereka di mata pengikut. Reaksi positif dari audiens dapat memberikan dorongan dopamin yang adiktif.

 

Peran Algoritma dalam Menyebarkan Konten ‘Flexing’

Jika psikologi manusia adalah bahan bakar, maka algoritma media sosial adalah mesin pendorong yang membuat konten flexing melesat jauh. Algoritma dirancang untuk menjaga pengguna tetap betah di platform selama mungkin. Mereka melakukannya dengan memprioritaskan konten yang menghasilkan ‘engagement’ tinggi – seperti suka, komentar, bagikan, simpan, dan waktu tonton yang lama.

Konten ‘flexing’ secara inheren dirancang untuk memicu berbagai reaksi emosional. Sebuah unggahan tentang jam tangan mewah bisa memicu:

  • Kekaguman: “Wow, keren sekali!” (mengarah ke suka/komentar positif)
  • Kecemburuan/Kritik: “Enak ya jadi dia, tinggal pamer.” atau “Pasti orang tua kaya.” (mengarah ke komentar negatif, namun tetap interaksi)
  • Aspirasi: “Semoga suatu hari saya bisa seperti itu.” (mengarah ke simpan/bagikan)
  • Rasa Ingin Tahu: “Bagaimana dia bisa mendapatkan itu?” (mendorong waktu tonton yang lebih lama)

Semua reaksi ini, baik positif maupun negatif, dianggap sebagai metrik engagement positif oleh algoritma. Semakin tinggi engagement suatu konten, semakin besar kemungkinan algoritma akan menampilkannya kepada lebih banyak pengguna, menciptakan efek bola salju yang cepat mengubah konten menjadi viral.

 

Mekanisme Algoritma Media Sosial

Setiap platform media sosial memiliki algoritma uniknya sendiri, namun prinsip dasarnya serupa. Mereka mencari sinyal perilaku pengguna:

  • Dwell Time (Waktu Tonton/Interaksi): Algoritma akan memperhatikan berapa lama Anda menghabiskan waktu melihat sebuah postingan atau video. Konten flexing yang menarik dan seringkali visual yang memukau cenderung memiliki dwell time yang tinggi.
  • Reaksi dan Komentar: Konten yang memancing banyak suka, emoji reaksi, dan terutama komentar, akan dianggap relevan dan menarik. Konten flexing seringkali memicu perdebatan atau diskusi di kolom komentar.
  • Bagikan dan Simpan: Ketika pengguna membagikan atau menyimpan postingan, itu adalah sinyal kuat bagi algoritma bahwa konten tersebut sangat berharga atau menginspirasi (bahkan jika inspirasinya adalah aspirasi yang jauh).
  • Keterkaitan (Affinity): Jika Anda sering berinteraksi dengan jenis konten tertentu atau akun tertentu, algoritma akan lebih sering menampilkan konten serupa kepada Anda, menciptakan “filter bubble” atau “echo chamber” di mana konten flexing semakin sering Anda lihat.

Mekanisme inilah yang menjelaskan mengapa, meskipun Anda mungkin tidak secara aktif mencari konten pamer, algoritma akan terus menyajikannya karena secara historis konten tersebut telah terbukti efektif dalam memicu interaksi dari Anda atau orang lain dalam jaringan Anda. Bagaimana Algoritma Instagram Bekerja atau Bagaimana TikTok Merekomendasikan Video adalah contoh nyata bagaimana engagement menjadi kunci.

 

Dampak Sosial dan Psikologis dari Fenomena ‘Flexing’

Meskipun viralitas konten flexing menguntungkan platform dan pembuat konten, ada dampak signifikan bagi pengguna:

  • FOMO (Fear of Missing Out): Melihat orang lain menikmati hidup mewah dapat memicu perasaan cemas dan khawatir ketinggalan pengalaman.
  • Tekanan Sosial dan Kecemasan: Standar hidup yang tidak realistis yang dipamerkan dapat menyebabkan tekanan untuk memenuhi ekspektasi serupa, berujung pada kecemasan dan rendah diri.
  • Konsumerisme yang Berlebihan: Konten flexing seringkali mendorong keinginan untuk memiliki barang-barang material, memicu pola pikir konsumtif yang tidak sehat.
  • Gangguan Kesehatan Mental: Studi menunjukkan bahwa perbandingan sosial yang intens di media sosial dapat berkontribusi pada peningkatan depresi dan kecemasan, terutama pada remaja dan dewasa muda. Dampak Media Sosial pada Kesehatan Mental adalah salah satu sumber pendukung.

 

Bagaimana Kita Bisa Lebih Bijak Menyikapi Konten ‘Flexing’?

Mengingat dominasi konten flexing di media sosial, penting bagi kita untuk mengembangkan literasi digital dan sikap yang lebih bijak:

  • Kritisi Apa yang Anda Lihat: Ingatlah bahwa media sosial seringkali hanyalah sorotan terbaik (dan paling dikurasi) dari kehidupan seseorang. Di balik kemewahan, mungkin ada tantangan atau realitas yang tidak dipublikasikan.
  • Fokus pada Diri Sendiri: Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, fokuslah pada perjalanan, tujuan, dan pencapaian pribadi Anda.
  • Kurasi Umpan Berita Anda: Unfollow atau sembunyikan akun yang secara konsisten memicu perasaan negatif pada Anda. Ikuti akun yang menginspirasi, mendidik, atau menghibur secara positif.
  • Batasi Waktu Layar: Mengurangi paparan terhadap media sosial dapat membantu mengurangi dampak negatif dari perbandingan sosial.
  • Prioritaskan Kesejahteraan Mental: Jika merasa terlalu terbebani oleh konten media sosial, jangan ragu untuk beristirahat atau mencari dukungan.

 

Kesimpulan

Fenomena konten ‘flexing’ yang selalu viral di media sosial adalah hasil dari konvergensi yang kuat antara naluri psikologis manusia untuk membandingkan dan mengaspirasi, serta desain algoritma media sosial yang cerdik. Algoritma tidak memiliki moral; mereka hanya mengenali sinyal engagement. Dan konten ‘flexing’, dengan sifatnya yang memicu reaksi emosional yang kuat, adalah juara dalam menghasilkan sinyal-sinyal tersebut.

Memahami bagaimana algoritma bekerja dan mengapa kita begitu rentan terhadap daya tarik konten pamer adalah langkah pertama untuk menjadi konsumen media sosial yang lebih sadar dan bijaksana. Dengan demikian, kita bisa menikmati manfaat konektivitas digital tanpa terjebak dalam perangkap perbandingan dan aspirasi yang tidak sehat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
x  Powerful Protection for WordPress, from Shield Security
This Site Is Protected By
Shield Security