Politeknik Penerbangan Palembang

Lebih dari Sekadar Pamer: Psikologi di Balik Fenomena Flexing Barang Mahal di Internet

Di era digital ini, sangat mudah untuk melihat hiruk-pikuk kehidupan orang lain hanya dengan menggulirkan jari di layar ponsel. Salah satu fenomena yang kian marak adalah ‘flexing’ – tindakan memamerkan barang-barang mewah atau mahal di media sosial. Mulai dari jam tangan mahal, tas desainer, mobil sport, hingga liburan ke destinasi eksotis, konten semacam ini memenuhi linimasa kita. Namun, di balik kemewahan yang terpampang, ada alasan psikologis dan sosial yang kompleks mengapa orang-orang merasa perlu untuk melakukan flexing di internet.

Mari kita telaah lebih dalam apa yang mendorong perilaku ini dan mengapa hal tersebut menjadi begitu populer di dunia maya.

 

Pencarian Validasi dan Penerimaan Sosial

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mendambakan pengakuan dan penerimaan dari lingkungannya. Media sosial menyediakan platform yang sempurna untuk memenuhi kebutuhan dasar ini. Ketika seseorang memposting foto barang mewah, “suka”, “komentar pujian”, dan “pengikut” yang berdatangan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk validasi digital.

  • Dorongan Ego: Mendapatkan respons positif dari audiens dapat memberikan dorongan instan pada ego dan harga diri. Ini menciptakan siklus di mana semakin banyak pujian yang diterima, semakin besar dorongan untuk terus memposting hal-hal yang memicu respons serupa.
  • Pengakuan Eksistensi: Dalam lautan konten yang tak terbatas, memamerkan sesuatu yang menarik perhatian dapat membuat seseorang merasa terlihat dan relevan, seolah-olah mengatakan, “Saya ada dan saya penting.”

 

Status Sosial dan Persepsi Kekayaan

Sejak zaman dahulu, kepemilikan harta benda mewah telah menjadi simbol status sosial dan kekuasaan. Di era modern, internet telah memperluas jangkauan simbol-simbol ini hingga ke skala global. Flexing menjadi cara untuk mengkomunikasikan “kesuksesan” kepada khalayak luas.

  • Membangun Citra Diri: Dengan memamerkan barang mahal, seseorang mencoba membangun citra sebagai individu yang sukses, kaya, dan memiliki selera tinggi. Citra ini dapat memberikan keuntungan dalam berbagai aspek, mulai dari relasi pribadi hingga peluang bisnis.
  • Teori Konsumsi Mencolok (Conspicuous Consumption): Konsep yang diperkenalkan oleh sosiolog Thorstein Veblen ini menjelaskan bahwa orang-orang membeli dan memamerkan barang-barang mewah bukan hanya karena fungsinya, tetapi juga untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial mereka kepada orang lain. Internet hanya mempercepat dan memperluas jangkauan dari fenomena ini.

 

Meningkatkan Harga Diri dan Mengatasi Insecurities

Di balik kilauan barang mewah, terkadang ada cerita tentang perjuangan pribadi atau rasa tidak aman yang ingin diatasi. Flexing bisa menjadi mekanisme koping atau cara untuk meningkatkan harga diri yang rapuh.

  • Kompensasi: Bagi sebagian orang, flexing adalah cara untuk mengkompensasi kekurangan atau ketidakamanan dalam aspek lain kehidupan mereka. Barang mewah dapat menjadi ‘perisai’ yang menutupi perasaan kurang percaya diri.
  • Penegasan Diri: Proses memperoleh dan memamerkan barang mahal bisa menjadi penegasan atas kerja keras dan pencapaian pribadi, meskipun motivasi utamanya mungkin adalah mendapatkan pujian dari luar.

 

Strategi Pemasaran dan Ekonomi Kreator

Untuk sejumlah individu, terutama para influencer dan kreator konten, flexing bukan hanya tentang ego pribadi, melainkan bagian dari strategi bisnis yang cerdas. Mereka hidup dari citra yang mereka bangun di media sosial.

  • Membangun Audiens: Konten yang menampilkan gaya hidup mewah seringkali menarik perhatian dan memicu rasa penasaran, yang pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah pengikut.
  • Peluang Kolaborasi: Dengan citra yang mewah, influencer menjadi lebih menarik bagi merek-merek kelas atas yang mencari duta atau mitra kolaborasi. Barang-barang mahal yang dipamerkan bisa jadi merupakan hasil endorsement atau bagian dari kampanye pemasaran.
  • Monetisasi: Semakin besar audiens dan semakin kuat citra yang dibangun, semakin besar pula potensi monetisasi melalui iklan, endorsement, atau penjualan produk/jasa mereka sendiri.

 

Dampak dan Perspektif Lain

Meski terlihat glamor, fenomena flexing juga memiliki dampak yang patut direnungkan:

  • Perbandingan Sosial yang Tidak Sehat: Flexing dapat memicu perbandingan sosial yang tidak realistis, menyebabkan kecemburuan, rasa tidak puas, dan tekanan finansial bagi mereka yang berusaha untuk “menyamai” gaya hidup yang dipamerkan.
  • Aspek Keaslian: Seringkali, apa yang dipamerkan di internet tidak sepenuhnya mencerminkan realitas. Filter, editing, dan seleksi konten bisa menciptakan ilusi kekayaan yang jauh dari kenyataan.
  • Fokus pada Materialisme: Flexing dapat memperkuat budaya materialisme, di mana nilai diri seseorang diukur dari barang-barang yang dimilikinya, bukan dari kualitas pribadi atau kontribusi kepada masyarakat.

 

Kesimpulan

Fenomena flexing barang mahal di internet adalah cerminan kompleks dari psikologi manusia yang haus akan validasi, status, dan penerimaan sosial. Di satu sisi, ini adalah ekspresi dari keinginan alami untuk dihargai dan diakui. Di sisi lain, hal ini juga dapat menjadi strategi pemasaran yang efektif di era digital atau bahkan mekanisme koping untuk rasa tidak aman. Penting bagi kita sebagai konsumen konten untuk menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial seringkali adalah versi kehidupan yang terkurasi dan tidak selalu mencerminkan keseluruhan cerita. Memahami motivasi di balik flexing dapat membantu kita menavigasi dunia maya dengan lebih bijak, tanpa terperosok dalam jebakan perbandingan sosial yang merugikan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
x  Powerful Protection for WordPress, from Shield Security
This Site Is Protected By
Shield Security