Politeknik Penerbangan Palembang

Misteri Flexing: Mengapa Otak Kita Terpikat Pamer di Media Sosial

Di era digital ini, media sosial telah menjadi panggung raksasa di mana setiap orang dapat menampilkan potongan-potongan terbaik dari hidup mereka. Dari liburan mewah, gadget terbaru, pencapaian karier, hingga bentuk tubuh ideal, aksi ‘flexing’ – atau pamer – telah menjadi fenomena yang tak terhindarkan. Fenomena ini bukan hanya sekadar tren, melainkan cerminan dari kompleksitas psikologi manusia yang jauh lebih dalam. Tapi, mengapa otak kita begitu terpikat untuk memamerkan apa yang kita miliki atau capai di hadapan publik? Apakah ini hanya sekadar kesombongan, atau ada mekanisme neurobiologis dan psikologis yang lebih mendasar di baliknya?

Artikel ini akan menyelami berbagai alasan mengapa otak kita didorong untuk flexing di media sosial, dari akar evolusi hingga respons dopamin yang kuat, serta bagaimana hal ini membentuk identitas dan interaksi sosial kita di dunia maya.

 

Evolusi dan Kebutuhan Akan Status Sosial

Untuk memahami daya tarik flexing, kita perlu melihat kembali sejarah evolusi manusia. Sejak zaman prasejarah, status sosial memainkan peran krusial dalam kelangsungan hidup dan reproduksi. Individu dengan status lebih tinggi cenderung memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya, pasangan, dan perlindungan. Pameran kekuatan, kekayaan, atau kemampuan bukanlah hal baru; nenek moyang kita mungkin melakukannya dengan memamerkan hasil buruan terbesar atau perhiasan langka.

Di era modern, media sosial menjadi medan pertempuran baru untuk menunjukkan status. Postingan tentang liburan eksotis, mobil mewah, atau label desainer adalah versi kontemporer dari “hasil buruan” yang menandakan kesuksesan dan akses terhadap sumber daya. Otak kita masih secara naluriah mencari sinyal-sinyal ini untuk menilai posisi kita dalam hierarki sosial, baik secara sadar maupun tidak.

 

Dopamin: Sirkuit Reward di Balik Pameran

Salah satu pendorong paling kuat di balik perilaku flexing adalah dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan kesenangan, motivasi, dan sistem reward otak. Ketika kita memposting sesuatu yang mendapatkan banyak “likes,” komentar positif, atau dibagikan, otak kita merespons dengan melepaskan dopamin.

  • Respon Positif: Setiap notifikasi yang berbunyi dengan pujian atau apresiasi memicu lonjakan dopamin, menciptakan perasaan senang dan kepuasan.
  • Lingkaran Umpan Balik: Pengalaman ini melatih otak kita untuk mengasosiasikan tindakan pamer dengan reward dopamin, mendorong kita untuk mengulanginya. Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang adiktif, di mana kita terus mencari validasi eksternal untuk mendapatkan “dopamine hit” berikutnya.
  • Prediksi Reward: Bahkan antisipasi akan reward (seperti menunggu reaksi terhadap postingan baru) dapat melepaskan dopamin, menjaga kita terpaku pada layar.

Mekanisme ini mirip dengan yang terjadi pada kecanduan lain, menjadikan media sosial sebagai platform yang sangat memuaskan, namun juga berpotensi berbahaya jika tidak diimbangi.

 

Identitas Diri dan Validasi Eksternal

Media sosial menawarkan platform unik untuk konstruksi dan presentasi diri. Kita cenderung mengkurasi versi ideal diri kita, menampilkan citra yang kita inginkan orang lain lihat. Flexing menjadi alat ampuh dalam proses ini:

  • Membentuk Citra Diri: Dengan memamerkan aspek-aspek tertentu dari hidup kita, kita secara aktif membentuk narasi tentang siapa diri kita—sukses, bahagia, berpetualang, kaya.
  • Mencari Pengakuan: Manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan pengakuan dan penerimaan. Validasi dari orang lain melalui likes dan komentar berfungsi sebagai bentuk penguatan positif yang memperkuat identitas yang kita bangun.
  • Meningkatkan Harga Diri: Ketika flexing berhasil menarik perhatian dan pujian, hal itu dapat memberikan dorongan sementara pada harga diri. Namun, ketergantungan pada validasi eksternal bisa menjadi pedang bermata dua, membuat kita rentan terhadap kritik atau kurangnya perhatian.

 

FOMO dan Tekanan Sosial

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) juga memainkan peran signifikan dalam dorongan untuk flexing. Ketika kita melihat teman atau influencer memamerkan kehidupan “sempurna” mereka, hal itu bisa menimbulkan perasaan iri, cemas, atau kekhawatiran bahwa kita tertinggal.

  • Perbandingan Sosial: Media sosial adalah lahan subur untuk perbandingan sosial. Kita secara otomatis membandingkan diri kita dengan orang lain, dan seringkali kita hanya melihat puncak gunung es dari kehidupan mereka.
  • Tekanan untuk Mengimbangi: Melihat orang lain “flexing” dapat menciptakan tekanan untuk melakukan hal yang sama, agar tidak merasa kurang atau diabaikan. Ini menciptakan siklus kompetitif di mana setiap orang merasa perlu untuk menampilkan versi terbaik (dan seringkali tidak realistis) dari hidup mereka.

 

Dampak Negatif dan Menemukan Keseimbangan

Meskipun flexing memiliki akar psikologis yang dalam, terlalu banyak mengandalkan validasi dari media sosial dapat menimbulkan konsekuensi negatif:

  • Kecemasan dan Depresi: Perbandingan sosial yang konstan dan tekanan untuk menjaga citra “sempurna” dapat menyebabkan kecemasan, stres, bahkan depresi.
  • Penurunan Harga Diri: Jika validasi tidak datang, atau jika ada kritik, hal itu dapat berdampak buruk pada harga diri yang sudah rapuh.
  • Hidup Tidak Autentik: Dorongan untuk flexing bisa mengarah pada hidup yang tidak autentik, di mana kita lebih peduli pada penampilan daripada esensi.

Penting untuk menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial seringkali hanyalah “highlight reel” yang diedit. Mengembangkan kesadaran diri, membatasi waktu layar, dan mencari validasi dari hubungan dunia nyata serta pencapaian pribadi yang bermakna adalah kunci untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan mental di tengah godaan flexing.

 

Kesimpulan: Memahami Diri di Tengah Hiruk Pikuk Digital

Fleksi di media sosial bukanlah sekadar tindakan superficial; ia adalah perpaduan kompleks dari kebutuhan evolusi akan status, respons neurokimia dopamin, upaya membangun identitas diri, dan tekanan sosial yang dihasilkan oleh lingkungan digital. Otak kita dirancang untuk mencari reward dan pengakuan, dan media sosial menyediakan platform sempurna untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Memahami mekanisme di balik kecenderungan flexing ini dapat membantu kita lebih bijak dalam berinteraksi dengan media sosial. Alih-alih hanya mengejar “likes” dan validasi eksternal, marilah kita fokus pada koneksi yang autentik, pertumbuhan pribadi, dan kebahagiaan sejati yang tidak perlu dipamerkan untuk dirasakan. Bagaimanapun, nilai diri kita jauh melampaui apa yang dapat ditampilkan dalam sebuah postingan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
x  Powerful Protection for WordPress, from Shield Security
This Site Is Protected By
Shield Security