
Di era digital yang serba cepat ini, platform media sosial seperti TikTok telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Dengan jutaan video yang diunggah setiap menit, TikTok menyuguhkan hiburan tanpa henti, tren menarik, dan jendela ke berbagai gaya hidup. Namun, di balik gemerlapnya konten yang disajikan, tersimpan sebuah potensi bahaya yang seringkali tidak disadari: hilangnya rasa syukur.
Secara tidak langsung, paparan terus-menerus terhadap “kehidupan standar TikTok” yang seringkali terkesan sempurna, mewah, atau penuh prestasi, bisa membuat kita membandingkan diri sendiri. Perbandingan ini, jika tidak disikapi dengan bijak, dapat mengikis apresiasi terhadap apa yang kita miliki dan memicu perasaan tidak puas. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana fenomena TikTok bisa merampas rasa syukur kita dan bagaimana cara mengatasinya.
Â
Pesona Sempurna TikTok: Realita atau Fiksi?
TikTok adalah panggung di mana setiap orang bisa menjadi bintangnya sendiri. Namun, perlu diingat bahwa apa yang kita lihat di sana hanyalah potongan-potongan terpilih dari sebuah kehidupan, seringkali sudah melalui proses editing yang cermat. Video-video tentang rumah mewah, liburan eksotis, tubuh ideal, karier impian, atau hubungan yang selalu romantis adalah “highlight reel” yang sengaja ditampilkan.
Di balik layar, ada usaha keras, pengorbanan, kegagalan, atau bahkan ketidakjujuran yang tidak pernah terlihat. Para content creator berlomba-lomba menyajikan konten yang menarik dan aspiratif untuk mendapatkan atensi. Akibatnya, kita seringkali terpapar pada standar hidup yang tidak realistis, membentuk persepsi bahwa kehidupan orang lain selalu lebih baik, lebih bahagia, atau lebih sempurna.
Â
Jebakan Perbandingan Sosial: ‘Rumput Tetangga Lebih Hijau’
Manusia secara alami cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Fenomena ini, yang dikenal sebagai teori perbandingan sosial, semakin diperparah oleh media sosial. Saat membuka TikTok, kita disuguhkan dengan ratusan atau bahkan ribuan perbandingan dalam waktu singkat. Melihat teman sebaya sudah membeli rumah, liburan ke luar negeri, atau memiliki pekerjaan impian, secara tidak sadar bisa memicu pertanyaan dalam diri:
- “Kenapa hidupku tidak seindah itu?”
- “Apa yang salah denganku?”
- “Aku tidak cukup baik.”
Perbandingan ini seringkali bersifat upward comparison, yaitu membandingkan diri dengan mereka yang dianggap lebih baik atau lebih sukses. Hasilnya? Rasa iri, kecemasan, harga diri rendah, dan yang paling krusial, ketidakmampuan untuk bersyukur atas apa yang sudah kita miliki.
Â
Dampak Psikologis: Kecemasan, Ketidakpuasan, dan Hilangnya Syukur
Paparan terus-menerus pada konten yang memicu perbandingan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada kesehatan mental:
- Kecemasan dan Stres: Tuntutan untuk selalu mengikuti tren atau mencapai standar tertentu bisa menimbulkan tekanan mental yang signifikan.
- Ketidakpuasan Kronis: Selalu merasa ada yang kurang dalam hidup kita, padahal mungkin kita sudah memiliki banyak hal baik. Ini adalah siklus yang melelahkan.
- Depresi: Pada kasus yang lebih parah, perasaan tidak berharga dan kegagalan yang terus-menerus bisa berkontribusi pada gejala depresi.
- Hilangnya Rasa Syukur: Inilah inti permasalahannya. Ketika fokus kita beralih dari apa yang kita miliki menjadi apa yang tidak kita miliki (atau apa yang orang lain miliki), kita kehilangan kemampuan untuk menghargai dan bersyukur atas berkah dalam hidup kita sendiri.
Â
Membangun Kembali Rasa Syukur di Era Digital
Bukan berarti kita harus sepenuhnya meninggalkan TikTok, tetapi menggunakannya dengan lebih bijak dan sadar. Berikut adalah beberapa langkah untuk kembali menumbuhkan rasa syukur:
1. Batasi Waktu Layar
Atur batas waktu harian untuk penggunaan TikTok. Gunakan fitur pengatur waktu di aplikasi atau ponsel Anda. Kurangi waktu yang Anda habiskan untuk menggulir tanpa tujuan (doomscrolling).
2. Kurasi Konten Anda
Pilih untuk mengikuti akun-akun yang inspiratif, mendidik, atau sekadar menghibur tanpa menimbulkan perasaan inferior. Blokir atau “tidak tertarik” pada konten yang memicu perbandingan negatif atau rasa tidak aman.
3. Latih Perbandingan ke Bawah (Downward Comparison) yang Sehat
Alih-alih selalu melihat ke atas, sesekali sadari bahwa banyak orang lain yang mungkin berada dalam situasi lebih sulit dari Anda. Ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk menumbuhkan empati dan rasa syukur atas posisi Anda saat ini.
4. Praktikkan Jurnal Syukur
Setiap hari, luangkan waktu 5-10 menit untuk menuliskan setidaknya tiga hal yang Anda syukuri. Hal ini bisa sekecil secangkir kopi pagi yang hangat, percakapan baik dengan teman, atau kesehatan yang Anda miliki. Konsistensi akan melatih otak Anda untuk lebih fokus pada hal-hal positif.
5. Fokus pada Kehidupan Nyata
Perkuat hubungan di dunia nyata. Habiskan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman. Ikuti hobi atau aktivitas di luar rumah yang tidak melibatkan layar. Pengalaman langsung seringkali lebih memuaskan daripada pencitraan di media sosial.
6. Ingat “Behind The Scenes”
Ketika melihat konten “sempurna” di TikTok, ingatkan diri Anda bahwa itu hanya sebagian kecil dari cerita. Semua orang memiliki perjuangan dan tantangan yang tidak mereka tampilkan. Realita jauh lebih kompleks dari apa yang terlihat di layar.
Â
Kesimpulan
TikTok, seperti pisau bermata dua, menawarkan hiburan dan konektivitas, namun juga berpotensi mengikis rasa syukur kita jika tidak digunakan secara bijak. “Standar hidup TikTok” yang seringkali ilusi, dapat menjebak kita dalam lingkaran perbandingan sosial yang merugikan. Penting bagi kita untuk secara sadar mengelola interaksi kita dengan platform ini, kembali fokus pada realitas, dan secara aktif melatih rasa syukur atas apa yang kita miliki. Dengan begitu, kita bisa menikmati manfaat teknologi tanpa harus kehilangan ketenangan batin dan kebahagiaan sejati.